Pengertian PPh Pasal 4 (2) adalah :
Pajak Penghasilan yang dikenakan terhadap penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 4 (2) Undang-Undang no.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
PPh Pasal 4 (2) bersifat final sehingga apabila wajib pajak telah dipotong PPh Pasal 4 (2) maka atas bukti potong tersebut tidak dapat dikreditkan.
Pasal 4 ayat 2 Undang-undang Pajak Penghasilan menyebutkan, bahwa:
”Atas
penghasilan berupa bunga deposito, dan tabungan-tabungan lainnya
penghasilan
dari transaksi saham dala sekuritas lainnya di bursa efek,
penghasilan
dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta
penghasilan
tertentu lannya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.”
PAJAK
PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BERUPA BUNGA DEPOSITO
DAN
TABUNGAN, DAN DISKONTO SERTIFIKAT BANK INDONESIA
Pengenaan
pajak penghasilan atas penghasilan berupa bunga deposito dan
tabungan
serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia (SBI) diatur dengan Peraturan
Pemerintah
No 131 tahun 2000. Menurut PP tersebut, atas penghasilan berupa
bunga
yang berasal dari deposito dan tabungan serta diskonto SBI yang diterima
oleh
Wajib Pajak dalam negeri dan BUT dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat
final.
Besarnya PPh yang dipotong adalah 20% dari jumlah bruto.
PPh (Final)
= 20% x Bruto
Sedangkan
bagi Wajib Pajak luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap, besarnya PPh
yang
dipotong adalah 20% dari jumlah bruto dan tarif berdasarkan Perjanjian
Penghindaran
Pajak Berganda yang berlaku.
Pemotongan
PPh ini tidak dilakukan terhadap:
1. Bunga
dan diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di
Indonesia
atau cabang bank luar negeri di Indonesia.
2. Bunga
deposito dan tabungan serta Sertifikat Bank Indonesia, sepanjang
jumlah
deposito dan tabungan serta Sertifikat Bank Indonesia tersebut tidak
melebihi
Rp 7.500.000 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) dan bukan
merupakan
jumlah yang terpecah-pecah.
3. Bunga
deposito dan tabungan, serta diskonto SBI yang diterima atau
diperoleh
dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan.
4. Bunga
tabungan pada bank yang ditunjuk pemerintah dalam rangka
pemilikan
rumah sederhana dan sangat sederhana, kavling siap bangun
untuk
dengan ketentuan yang berlaku, untuk dihuni sendiri.
Catatan:
Bagi
Wajib Pajak dalam negeri orang pribadi yang seluruh penghasilannya (termasuk
bunga dan
diskonto) dalam satu tahun pajak tidak melebihi PTKP, atas pajak yang
telah
dipotong dapat diajukan permohonan restitusi.
PAJAK
PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BERUPA BUNGA ATAU
DISKONTO
OBLIGASI YANG DIJUAL DI BURSA EFEK
Pengenaan
pajak penghasilan atas penghasilan berupa bunga atau diskonto obligasi
yang
dijual di bursa efek diatur dengan Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2002.
Menurut
PP tersebut, atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak berupa dan
diskonto
obligasi yang diperdagangkan dan/atau dilaporkan di bursa efek dikenakan
Pajak
Penghasilan yang bersifat final. Besarnya Pajak Penghasilan tersebut
adalah
sebagai
berikut:
1. Atas
bunga obligasi dengan kupon (interest bearing bond) sebesar:
a. 20%
(dua puluh persen) bagi Wajib Pajak dalam negeri dan BUT;
b. 20%
(dua puluh persen) atau tarif sesuai ketentuan persetujuan
Penghindaran
Pajak Berganda (P3B) yang berlaku, bagi Wajib Pajak
penduduk/berkedudukan
di luar negeri, dari jumlah bruto bunga sesuai
dengan
masa pemilikan (holding period) obligasi.
2. Atas
diskonto obligasi dengan kupon sebesar:
a. 20%
(dua puluh persen) atau tarif sesuai ketentuan persetujuan
Penghindaran
Pajak Berganda (P3B) yang berlaku, bagi Wajib Pajak
penduduk/berkedudukan
di luar negeri,
b. 20%
(dua puluh persen) atau tarif sesuai ketentuan Penghindaran Pajak
Berganda
(P3B) yang berlaku, bagi Wajib Pajak penduduk/berkedudukan
di luar
negeri, dari selisih harga jual obligasi atau nilai nominal di atas
perolehan
obligasi, tidak termasuk bunga berjalan (accrued interest).
3. Atas
diskonto obligasi tanpa bunga (zero coupon bond) sebesar:
a. 20%
(dua puluh persen) bagi Wajib Pajak dalam negeri dan BUT,
b. 20%
(dua puluh persen) atau tarif sesuai ketentuan Persetujuan
Penghindaran
Pajak Berganda yang berlaku, bagi Wajib Pajak
penduduk/berkedudukan
di luar negeri, dari selisih harga jual atau nilai
nominal
di atas harga perolehan obligasi.
Catatan:
Atas
bunga dan diskonto obligasi yang diterima atau diperolah Wajib Pajak:
1. Bank
yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia;
2. Dana
Pensiun yang pendirian/pembentukannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan;
3.
Reksadana yang terdaftar pada Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAN),
selama 5
(lima) tahun pertama sejak pendirian atau pemberian izin usaha;
tidak
dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final.
PAJAK
PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BERUPA SEWA TANAH
DAN/ATAU
BANGUNAN
Pengenaan
pajak penghasilan atas penghasilan berupa sewa tanah dan/atau
bengunan
diatur dengan Peraturan Pemerintah No 29 Tahun 1996 sebagaimana
telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah No 5 Tahun 2002. Menurut ketentuan
tersebut
penghasilan berupa sewa tanah dan/atau bengunan dikenakan PPh yang
bersifat
final. Besarnya PPh yang dipotong adalah sebesar 10% baik atas
penghasilan
yang diterima oleh Wajib Pajak badan maupun orang pribadi dari jumlah
bruto
nilai persewaan tanah dan/atau bangunan.
PPh (Final)
= 10% x Bruto
Contoh :
Organisasi
XYZ menyewa sebuah ruko dari Tuan AA untuk dijadikan kantor dengan
nilai
sewa sebesar Rp 60.000.000.
PPh Pasal
4 ayat 2 yang dipotong oleh XYZ adalah:
10% x Rp
60.000.000 = Rp 6.000.000
PPH FINAL
ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH
DAN/ATAU
BAGUNAN
Wajib
Pajak orang pribadi dan yayasan atau organisasi yang sejenis yang
mengalihkan
hak atas tanah dan/atau bangunan wajib membayar PPh Final 5% daru
jumlah
Bruto Nilai Pengalihan (nilai tertinggi antara nilai berdasarkan akta jual
beli/pengalihan
dan NJOP tanah & bangunan sesuai SPPT PBB).
Bagi
Wajib Pajak orang pribadi yang jumlah penghasilannya melebihi Penghasilan
Tidak
Kena Pajak (PTKP), apabila melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan
yang jumlah brutonya kurang dari Rp 60.000.000 (enam puluh juta
rupiah),
penghasilan yang diperoleh dari pengalihan tersebut merupakan objek Pajak
Penghasilan,
dan Pajak Penghasilan terutang yang bersifat final sebesar 5 % (lima
per
seratus) dari jumlah bruto nilai pengalihan, wajib dibayar sendiri oleh Wajib
Pajak
dengan
Surat Setoran Pajak Final sebelum akhir tahun pajak yang bersangkutan,
kecuali
penghasilan yang diperoleh dari pengalihan penjualan, tukar-menukar,
pelepasan
hak, atau cara lain kepada pemerintah guna melaksanakan
pembangunan
untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus.
Atas
transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan oleh
Wajib
Pajak Badan yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
di luar
kegiatan usaha pokoknya, diwajibkan menyetor PPh 5% melalui bank
persepsi.
Setoran PPh tersebut tidak bersifat final, sehingga merupakan angsuran
PPh dalam
tahun berjalan yang dapat dikreditkan.
Atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan termasuk koperasi
yang
usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan,
pengenaan Pajak Penghasilannya berdasarkan ketentuan umum, Pasal
16 ayat
(1) dan Pasal 17 UU PPh. Dengan demikian, kewajiban pembayaran Pajak
Penghasilan
dalam tahun berjalan dihitung dan dilaksanakan sendiri berdasarkan
ketentuan
Pasal 25.
PPh
(Final) = 5% x Bruto
USAHA
JASA KONSTRUKSI
Pengenaan
pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi diatur
dengan
Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2008. Berikut ini adalah beberapa
pengertian
menurut PP No. 51 tahun:
Jasa
kontruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi,
layanan
jasa pelaksaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi
pengawasan
pekerjaan konstruksi.
Pekerjaan
konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan
perencanaan
dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan
arsitektural,
sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta
perlengkapannya
untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain.
Pelaksanaan
konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan
yang
dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang
mampu menyelenggarakan
kegiatan untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan
menjadi
bentuk bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk di dalamnya pekerjaan
konstruksi
terintegrasi yaitu penggabungan fungsi layanan dalam model
penggabungan
perencanaan, pengadaan, dan pembagunan (engineering,
procurement
and construction) serta modal penggabungan perencanaan dan
pembangunan
(design and build).
Pengawasan
konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan
yang
dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi, yang
mampu
melaksanakan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi
sampai
selesai dan diserahterimakan.
Penyediaan
jasa adalah orang pribadi atau badan termasuk bentuk usaha tetap,
yang
kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi baik sebagai
perencanaan
konstruksi, pelaksana konstruksi dan pengawas konstruksi maupun
sub-subnya.
Atas
penghasilan dari usaha Jasa Konstruksi dikenakan Pajak Penghasilan yang
bersifat final.
Besarnya PPh yang dipotong adalah sebagai berikut:
1. 2%
(dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh
Penyediaan
Jasa yang memiliki Kualifikasi usaha kecil;
PPh (Final)
= 2% x Jumlah Jasa
2. 4%
(empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh
Penyediaan
Jasa yang memiliki Kualifikasi usaha;
PPh (Final)
= 4% x Jumlah Jasa
3. 3%
(tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh
Penyediaan
Jasa selain Penyediaan Jasa sebagaimana dimaksud dalam
angka dan
angka 2;
PPh (Final)
= 3% x Jumlah Jasa
4. 4%
(empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi atau Pengawasan
Konstruksi
yang dilakukan oleh Penyediaan Jasa yang dimiliki kualifikasi
usaha;
dan
PPh (Final)
= 4% x Jumlah Jasa
5. 6%
(enam persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi atau Pengawasan
Konstruksi
yang dilakukan oleh Penyediaan Jasa yang tidak memiliki
kualifikasi
usaha.
PPh (Final)
= 6% x Jumlah Jasa
Pajak
Penghasilan jasa konstruksi:
• dipotong oleh Pengguna Jasa pada saat pembayaran, dalam hal
Penggunaan
Jasa merupakan pemotongan pajak; atau
• disetor sendiri oleh Penyediaan Jasa, dalam hal pengguna jasa
bukan
merupakan
pemotong pajak.
PAJAK
PENGHASILAN ATAS HADIAH UNDIAN
Pengenaan
pajak penghasilan atas penghasilan berupa hadiah undian diatur dalam
Peraturan
Pemerintah No 132 Tahun 2000. Menurut ketentuan peraturan tersebut
penghasilan
berupa undian dengan nama dan dalam bentuk apapun dipotong atau
dipungut
Pajak Penghasilan yang bersifat final. Besarnya Pajak Penghasilan yang
wajib
dipotong atau dipungut adalah sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari
jumlah
bruto hadiah undian.
PPh (Final)
= 25% x Bruto
Contoh :
PT ABC
dalam rangka mempromosikan produk barunya menyelenggarakan undian
dengan
hadiah berupa uang tunai senilai Rp 100.000.000. PPh Pasal 4 ayat 2 yang
dipotong
oleh PT ABC adalah:
25% x Rp
100.000.000 = Rp 25.000.000
PPH FINAL
ATAS PENGHASILAN DARI TRANSAKSI DERIVATIF BERUPA
KONTRAK
BERJANGKA YANG DIPERDAGANGKAN DI BURSA
Pengenaan
pajak penghasilan atas penghasilan dari transaksi derivatif berupa
kontrak berjangka
yang diperdagangkan di bursa diatur dalam Peraturan Pemerintah
No 17
Tahun 2009. Atas penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh orang pribadi
atau
badan dari transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di
bursa
dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 2,5% (dua koma lima
persen)
dari margin awal.
PPh
(Final) = 2,5% x Margin Awal